31 Agustus 2016

review: Camar Biru


Sambil membayangkan itu semua, gue jadi sadar, bahwa Adith adalah orang paling berpengaruh dalam kehidupan gue, yang kehadirannya selalu gue butuhkan, yang kekonsistenannya selalu membuat gue tenang. Itu semua yang menjadikannya orang paling penting, karena gue tahu, dari semua orang yang ada, dia satu-satunya yang memutuskan untuk tetap tinggal.


Judul: Burung Camar
Penulis: Nilam Suri
Penerbit: Gagasmedia
Tebal: 288 halaman
Tahun cetak: 2013—kedua (pertama:2012)
ISBN: 978-979-780-603-3

Rating: 4/5 bintang

***

Nina dan Adith mengikat janji mereka ketika mabuk dengan lambang burung camar dari kertas. Saat itu Nina bertanya pada Adith bagaimana jika tidak ada laki-laki yang mau dengannya. Adith pun membuat janji pada Nina jika sepuluh tahun mendatang Nina belum menikah, maka Adith akan menikahinya. Sepuluh tahun dari janji itu dibuat, Nina belum juga menikah, dan mereka memutuskan menepati janji mereka.

Nina dan Adith adalah sebagian dari sebuah bujursangkar pertemanan yang saling mengisi sejak kecil. Ada Narendra dan Sinar yang merupakan sahabat baik sejak lama sehingga Nina dan Adith—yang merupakan adik masing-masing—akhirnya ikut masuk dalam persahabatan mereka. Tapi, tragedi kecelakaan Nina dan Naren yang membuat Naren meninggal membuat bujursangkar mereka timpang dan hancur. Nina kehilangan dirinya serta haknya ketika satu-satunya orang yang memperhatikannya—Naren—meninggal. Ibu Nina menyalahkannya atas kematian Naren sehingga Nina harus pergi dari rumah. Sinar kehilangan sahabat terbaiknya, dan memilih pergi dan meneruskan studinya di London. Sedangkan Adith yang tidak begitu dekat dengan Naren tetap tinggal di sisi Nina karena memang sejak lama sudah menyimpan rasa untuk Nina.

Dalam usaha menepati janji burung camar mereka, banyak hal yang harus mereka lalui. Nina harus kembali menghadapi orang tuanya yang sudah lama dia tinggalkan untuk memberi tahu rencana pernikahan mereka dan Adith harus menerima kenyataan bahwa Nina punya rahasia yang selama ini ditutupinya, yang membuat Nina kehilangan dirinya selain karena kematian Naren.

***

Nggak ada ekspetasi apa-apa ketika lihat cover dan bagian blurb-nya. Sama sekali nggak ada gambaran seperti apa ceritanya karena memang  belum pernah baca lebih lagi tentang novel ini di goodreads. Tapi, ketika baca bagian pertama, aku penasaran karena langsung diawali dengan ‘gue’ yang bahkan belum aku kenal. Akhirnya aku terus membaca sampai akhir bisa menarik kesimpulan POV siapakah bagian itu. Lalu cerita terus berjalan dengan Nina dan Adith yang saling bergantian bercerita dari POV mereka.

Cerita yang ada bercerita tentang masa lalu Nina-Adith sebagai sepasang sahabat dan bagian dari bujursangkar pertemanan mereka dengan Sinar dan Naren. Bagaimana Nina yang sudah kehilangan dirinya masih terus bisa ‘berjalan’ karena Adith terus ada di sisinya. Cerita yang dituturkan juga ringan karena nggak terlalu banyak masalah besar yang jadi pusat perhatian. Bujursangkar pertemanan mereka juga benar-benar kerasa. Bagaimana kematian Naren benar-benar berdampak untuk semua tokoh.  Kematian Naren membuat Nina harus pergi dari rumah bahkan nggak lagi berhubungan dengan orang tuanya dan Sinar larut dalam sedih sampai harus pergi ke London bahkan masih terus mengirim e-mail ke Naren seakan-akan Naren hanya menghilang karena dia pengecut.

Karena menggunakan POV dari Nina dan Adith, aku bisa merasa lebih dekat dengan mereka bahkan bisa merasakan bagaimana chemistry mereka sebagai sahabat dari kecil yang isinya saling caci-maki. Perbedaan tokoh Nina dan Adith juga terasa banget karena POV yang digunakan. Adith itu santai dan lucu sedangkan Nina terkesan kelam dan kaku. Aku lebih sering ketawa di bagian Adith sedangkan di bagian Nina lebih sering berkaca-kaca sampai nangis. And, my favorite one is Adith. I wish I have a friend like him.

Kadang, saat kita nggak mampu melepaskan orang yang terlalu kita cintai, berarti kitalah yang harus pergi.